Jakarta,Groupmediacenter.Com-Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pegiat antikorupsi. Pasalnya, regulasi baru itu menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN tidak lagi termasuk sebagai penyelenggara negara, sehingga di luar kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (05/05/2025)
Pasal 9G UU BUMN menyebut secara eksplisit bahwa jabatan-jabatan tersebut bukanlah penyelenggara negara, berbeda dengan ketentuan sebelumnya. Hal ini berdampak langsung pada ruang gerak KPK dalam menangani tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat BUMN.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengatakan bahwa pihaknya sedang mengkaji secara mendalam implikasi dari regulasi ini. “Kami sebagai pelaksana undang-undang harus tunduk pada aturan yang berlaku. Jika sekarang pejabat BUMN tidak termasuk penyelenggara negara, maka kewenangan kami terbatas,” ujar Tessa dalam keterangannya, Jumat (2/5).
Menanggapi polemik tersebut, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku telah bertemu dengan pimpinan KPK untuk membahas sinkronisasi antar lembaga. Menurut Erick, upaya pemberantasan korupsi di tubuh BUMN tetap menjadi prioritas, meskipun kini membutuhkan koordinasi yang lebih erat dengan aparat penegak hukum lainnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan bahwa lembaganya siap mendampingi Kementerian BUMN dan Badan Pengelola Investasi Danantara dalam penerapan prinsip tata kelola yang bersih. Namun, ia tidak menampik bahwa pergeseran status hukum pejabat BUMN menjadi tantangan serius bagi KPK.
Sejumlah pengamat menilai, perubahan ini berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN yang mengelola triliunan rupiah dana negara. Mereka mendesak agar revisi UU ini segera dievaluasi demi menjaga integritas dan akuntabilitas pejabat publik, termasuk di sektor korporasi milik negara.
Social Footer