Breaking News

Petugas Sampah Menjerit, Guru Honorer Menangis Pamit ke Siswanya

Makasaar,Groupmediacenter.Com-Makassar sedang dirundung mendung. Di sudut-sudut kota, bayangan kecemasan semakin tebal. Kebijakan yang datang seperti badai tak hanya meruntuhkan harapan, tetapi juga menghancurkan kehidupan.  

Minafri Arifuddin, Wali Kota Makassar, mengumumkan pemangkasan 3.000 tenaga honorer Pemkot dalam langkah drastis efisiensi anggaran. Bagi sebagian, ini hanya angka. Tetapi bagi mereka yang terdampak, ini adalah hancurnya dunia yang telah mereka bangun.  

Di pinggiran kota, seorang petugas kebersihan menggenggam sapunya erat, seakan takut melepaskannya. "Kami tak tahu lagi harus bagaimana," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Dengan upah yg cukup membahagiakan keluarganya, mereka membersihkan kota riang gembira. Kini, mereka hanya bisa menjerit dalam sunyi. (20/05/2025)

“Kami tidak punya Ijazah, tapi pemerintah sebelumnya hadir memberi solusi. Kami dipekerjakan dengan modal KTP saja,” kenangnya.

Namun, tak lama lagi semua tinggal kenangan. Perjuangan dan kebaikan wali kota sebelumnya  musnah berdalih aturan pusat.

Di tempat berbeda, dalam ruang kelas, seorang guru honorer berdiri dengan senyum yang dipaksakan. Siswa-siswanya menatap penuh tanya. Ia menarik napas panjang sebelum berkata, "Anak-anak, mungkin ini hari terakhir saya mengajar kalian." Tangis pecah. Tangan-tangan kecil berusaha menahan sosok yang telah memberi mereka ilmu dan kasih sayang, tetapi takdir telah berbicara lebih dahulu.  

Keputusan ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini adalah nyawa, harapan, dan mimpi yang tercerabut. Mereka yang dulu menjaga kebersihan kota dan membangun masa depan generasi mendatang kini terancam kehilangan segalanya.  

Akankah ada cahaya di ujung lorong gelap ini? Ataukah mereka akan tenggelam dalam gelombang keputusan yang tak bisa mereka lawan?  

Makassar benar-benar menangis. 

Ketika malam semakin pekat di Makassar. Di lorong-lorong sempit, di tepian jalan yang dulu ramai dengan langkah-langkah penuh harapan, kini hanya tersisa isak tangis dan tatapan kosong. Munafri Arifuddin, sosok yang pernah dielu-elukan sebagai pemimpin masa depan, kini berdiri di persimpangan—antara amanah yang diberikan rakyatnya dan keputusan yang menghancurkan mereka.  

Di tepi jalan, petugas kebersihan berdiri meraba bak mobil sampah itu dengan tangan gemetar. Ia tak mampu membayangkan, senyum berbinar putrinya yang setiap hari menyambutnya pulang sehabis kerja, sirna dan berubah suram.

Di gerbang sekolah yang mulai kehilangan cahayanya, seorang guru honorer berusaha menahan air mata saat tersadar hari itu benar-benar perpisahan terakhir. "Kita tak butuh janji yang indah—kita butuh pemimpin yang berdiri untuk kita," katanya terus melangkah jauh membelakangi  gedung yang pernah menjadi tempatnya berbagi ilmu dan harapan.  

Appi berdalih bahwa ini semua adalah aturan pusat, tetapi rakyat tahu—seorang pemimpin tidak hanya tunduk, ia harus berjuang. Ia seharusnya berdiri di garis depan, menggenggam amanah yang diberikan rakyatnya dengan keberanian, bukan menjadikan mereka korban kebijakan yang datang tanpa perlawanan.  

Harapan yang dulu dijanjikan kini telah pudar. Di Makassar yang semakin sunyi, rakyat bertanya: Apakah pemimpin ini benar-benar untuk kami, atau hanya untuk dirinya sendiri?

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close